Minggu, 02 Agustus 2020

Kepribadian “Mediator”


Kepribadian Mediator adalah idealis sejati, selalu mencari celah kebaikan bahkan pada orang atau kejadian terburuk sekalipun, mencari cara untuk membuatnya menjadi lebih baik. Walaupun mereka mungkin dirasa pendiam, tidak ramah, bahkan pemalu, Mediator memiliki api dan semangat di dalam dada yang benar-benar dapat bersinar. Mencapai 4% dari populasi, sayangnya, risiko merasa salah dipahami cukup tinggi bagi tipe kepribadian Mediator – tetapi jika mereka menemukan orang yang memiliki kecenderungan yang sama untuk diajak berbicara, keharmonisan yang mereka rasakan akan menjadi sumber kesenangan dan inspirasi.
Kepribadian “Mediator” (INFP-A / INFP-T)
Mediator dipandu oleh prinsip mereka, bukan oleh logika, kegembiraan, atau kepraktisan. Saat menentukan cara untuk bergerak maju, mereka akan memperhatikan kehormatan, keindahan, moralitas dan nilai – Mediator dipimpin oleh kemurnian iktikad mereka, bukan penghargaan dan hukuman. Orang yang memiliki tipe kepribadian Mediator bangga dengan kualitas ini, dan memang demikian, tetapi tidak semua orang memahami pendorong dibalik perasaan itu, dan itu dapat menyebabkan pengucilan.
Tidak semua emas berkilau, tidak semua pengembara tersesat; orang tua yang kuat tidak melemah; akar yang dalam tidak dapat membeku.

J. R. R. TOLKIEN

Kita Tahu Siapa Kita, tetapi Tidak Tahu Akan Jadi Apa Kita

Dalam bentuk terbaiknya, kualitas ini memungkinkan orang dengan tipe kepribadian Mediator berkomunikasi secara mendalam dengan orang lain, mudah berbicara menggunakan metafora dan perumpamaan, dan memahami dan menciptakan simbol untuk menyampaikan ide mereka. Kekuatan gaya komunikasi intuitif ini sangat memungkinkan untuk berkecimpung di pekerjaan kreatif, dan tidak mengherankan jika banyak Mediator terkenal adalah pujangga, penulis dan aktor. Memahami diri dan tempat mereka di dunia ini merupakan hal yang penting bagi kepribadian Mediator, dan mereka menjelajahi ide ini dengan menonjolkan diri dalam pekerjaan mereka.
Kemampuan mediator dalam berbahasa tidak hanya dalam bahasa ibu mereka, tetapi – mereka dianggap berbakat dalam hal mempelajari bahasa kedua (atau ketiga!). Bakat berkomunikasi juga memungkinkan tercapainya keinginan Mediator untuk menggapai keharmonisan dan membantu kepribadian ini untuk bergerak maju memenuhi panggilan mereka.

Mendengarkan Banyak Orang, tetapi Berbicara Sedikit

Tidak seperti tipe kepribadian yang lebih sosial, Mediator akan memfokuskan perhatian mereka hanya kepada beberapa orang, satu aksi bermanfaat – diketahui hanya sedikit orang, mereka akan kehabisan energi, dan bahkan menjadi sedih dan bingung oleh semua keburukan dunia yang tidak dapat mereka perbaiki. Ini menjadi pandangan yang menyedihkan bagi teman Mediator, yang akan datang tergantung pada pandangan mereka yang penuh harapan.
Jika mereka tidak berhati-hati, Mediator dapat kehilangan diri dalam petualangan mereka selamanya dan mengabaikan pemeliharan kehidupan sehari-hari. Mediator seringkali terhanyut dalam pikiran yang dalam, menikmati kontemplasi hipotetis dan filosofis lebih dari tipe kepribadian apa pun. Jika tidak dihentikan, kepribadian Mediator dapat kehilangan sentuhannya, menarik diri menjadi “pertapa”, dan itu akan menghabiskan banyak energi dari teman dan pasangan untuk membawa mereka kembali ke dunia nyata.
Untungnya, seperti bunga di musim semi, pengaruh, altruisme dan idealisme Mediator akan selalu kembali, memberi ganjaran bagi mereka dan orang yang mereka cintai mungkin bukan dengan logika dan manfaat, tetapi dengan pandangan dunia yang menginspirasi belas kasihan, kebaikan hati dan keindahan di mana saja mereka berada.
Sumber:

Selasa, 21 Juli 2020

SISI LAIN KOTA JOGJA








Tulisan ini tentang sisi lain dari kota kelahiran, Kota Jogja. Kota yang kini telah mengalami banyak perubahan, yang pasti tambah padat. Jika banyak orang luar mungkin hanya mengenal Jogja dari sebuah kawasan bernama Malioboro, banyak hal dari Kota Jogja yang sesungguhnya menarik untuk dinikmati. Salah satu yang cukup menarik perhatian adalah kawasan padat penduduk di sepanjang sungai Code, sebuah sungai yang terletak tidak jauh dari Kawasan Malioboro.

Salah satu hal yang sangat menarik yang kemudian mendasari tulisan ini adalah salah satu jalan masuk menuju kawasan ini. Beberapa kali melewati sepintas kawasan ini dari trotoar dan melihat jalan masuknya terfikir sesuatu. Bukan warna warni tangganya, tetapi jalan menurun di tengah tangga tersebut. Jalan ini begitu sempit, ditambah lagi kondisinya yang cukup curam. Jalan kecil ini fungsinya apa ya? Apakah untuk sepeda atau sepeda motor? Kalau iya, merasa ‘wow’saja.


Kawasan yang sempat diabadikan sebagai gambar dalam tulisan ini hanya salah satu kampung di bantaran Sungai Code. Siang itu sempat menyusuri kampung di kawasan ini, meskipun hanya beberapa kampung saja. Sebagaimana gambaran kawasan bantaran sungai, perkampungan di kawasan ini merupakan perkampungan yang sangat padat dengan rumah-rumah yang saling berhimpitan. Jangankan halaman rumah, jalan-jalan di kampung ini sangat sempit. Namun menariknya masih ada ruang-ruang publik yang memang sangat kurang layak sebagai tempat berkumpul. Ruang publik tersebut selain kurang layak dari segi luasnya, juga dari segi penataan dan fasilitasnya. Namun sepertinya tidak mengurangi kebahagiaan warganya untuk bersosialisasi.

Kebetulan saat itu siang menjelang sore, jadi suasana sudah cukup ramai penduduk di luar rumah. Ada yang sekedar bersosialisasi di ruang publik, atau ngobrol santai dengan tetangga di depan rumah mereka, dan ada pula yang lalu lalang untuk melakukan aktifitas bersih-bersih termasuk membersihkan diri. Terlihat anak-anak mungkin sesusia SD memakai handuk dan membawa gayung berisi peralatan mandi berpapasan di jalan sempit di tepi sungai. Tidak berapa jauh kemudian ada 3 buah kamar mandi berjejer menghadap sungai. Di kawasan pemukiman ini ternyata ada kamar mandi umum. Tidak selang berapa lama, menemukan ada sebuah rumah menghadap ke sungai yang pintunya tarnyata di tembok kira-kira setinggi lutut. Tapi pintu rumah itu terbuka. Dan rata-rata,mungkin hamper semua rumah yang berada persis di tepi sungai Code ini memang menghadap ke sungai. Hal ini tentu sesuai dengan anjuran pemerintah untuk menjadikan sungai sebagai halaman depan. Mengapa? Karena jika dijadikan halaman depan rumah, diharapkan sungai akan selalu dijaga kebersihannya.


Di kawasan ini jugabanyakdijumpai masjid yang aktif digunakan warganya. Warga disini juga cukup peduli dengan berbagai aktivitas yang berkaitan dengan kampungnya. Hal ini bisa dirasakan pada saat beberapa tahun lalu menghadiri sebuah aktivitas kampung di kawasan ini.

Minggu, 05 Juli 2020

KARENA WAKTU TIDAK AKAN BERULANG SAMA PART #2 BERSAMA PEMBURU PENGINAPAN


       
     Cerita mengenai berburu kuliner bersamanya, teman baikku selama liburan tahun 2019 lalu sudah aku tulis. Mengikuti agenda wisata kulinernya ternyata cukup membuat perutku kewalahan juga. Aku pikir selama kurang lebih enam hari bersamanya sudah cukup membuat berat badanku naik. Ternyata sepertinya mungkin kurang lama, wait. Atau mungkin badanku saja yang bandel. Mungkin juga timbangannya yang kurang tepat. Entahlan.

Hal yang juga menarik untuk kami ceritakan tentu adalah tentang penginapan. Selama kurang lebih enam hari liburannya ke Jogja, ada tiga hotel yang akhirnya kami tinggali. Meskipun aku juga tidak setiap malam menemaninya menginap di hotel. Namun pada akhirnya dari ketiganya, ada satu hotel yang membuatnya ‘sreg’ dan berniat untuk memasukkan kedalam ‘rekomendasi’ nya jika kelak ke Jogja lagi.

Tidak berniat mereview, karena pada akhirnya nyaman atau tidak semua kembali kepada selera masing-masing. Kami hanya menyimpulkan saja berdasarkan selera kami. Ketiga hotel yang sempat kami inapi yaitu:

Cafe di Lantai Atas
Hotel Yellow Ambarukmo
     Yellow Ambarukmo, merupakan hotel yang diinapinya di hari  pertama. Hotel ini berada tepat di tepi jalan Jogja-Solo. Dari namanya sekilas aku sempat terkecoh, aku pikir hotel Ambarukmo namun ternyata bukan. Dan beda manajemen juga sepertinya. Namun lokasinya memang tidak jauh dari hotel Ambarukmo. Untuk yang menyukai suasana tenang, hotel ini sepertinya kurang rekomended disamping karena lokasinya yang berada tepat di tepi jalan utama. Namun sekali lagi, kembali kepada selera. Kelebihannya tentu adalah aksesnya yang mudah karena berlokasi tepat di tepi jalan utama tersebut. Yang cukup menarik juga dari hotel ini adalah cafĂ© di lantai atasnya. Tapi jika pagi sepertinya sepi. Mungkin baru beroperasi malam, atau mungkin hanya pada malam-malam tertentu. Di hotel ini temenku hanya menginap sehari, karena ketika akan memperpanjang tiba-tiba harganya naik dan sepertinya sudah dibooking orang/pihak lain, karena tidak segera diperpanjang.

   
Ruang Makan di Alista Hotel  
    Alista Hotel (kalau tidak salah) adalah yang kedua. Hotel ini tidak terlalu besar. Mungkin karena itu dan karena penataannya juga, hotel ini jadi ‘homy’ seperti rumah sendiri. Mulai dari ruang depan, kamar tidur hingga ruang makannya. Atau mungkin juga karena lokasi yang membuat hotel ini jadi terasa lebih tenang dan 'homy'. Dan yang paling aku suka adalah ruang makannya. Hotel ini tidak jauh dari hotel pertama dan Ambarukmo Plaza. Namun lokasinya memang masuk kedalam gang, namun cukup terjangkau juga. Mobil juga dengan mudah masuk ke lokasi ini. Namun parkir hotel ini sepertinya memang kurang luas untuk ukuran hotel. Entah kalau hotel ini punya tempat parkir di lokasi lain.
·  
Hotel MM UGM, merupakan hotel ketiga atau terakhir dari perjalanannya berburu hotel pada liburannya kala itu. Yang menarik dari hotel ini adalah bahwa pihak hotel tidak menyediakan minuman botol di setiap kamar sebagaimana hotel pada umumnya. Namun disediakan botol kaca isi ulang beserta gelas. Setiap orang yang menginap dapat mengsisi sendiri botol kaca tersebut dengan air pada dispenser yang disediakan di lorong kamar hotel sesukanya. Hotel terakhir inilah yang membuat temenku jatuh hati. Selain tempatnya yang nyaman, dengan ukuran kamar seluas itu dibandingkan dengan harganya termasuk murah menurutnya. Apalagi kala itu sedang weekend.

Lorong Kamar di Hotel MM UGM

Itulah catatan singkat tiga hotel yang sempat kami inapi selama liburan kami kala itu. Rupanya selain berburu kuliner, tujuannya ke Jogja adalah juga berburu penginapan. Pikirku sih… Bagaimana tidak, dia rela bolak-balik, wira-wiri kata orang jawa, sambil mindah-mindah barang bawaan untuk berpindah-pindah hotel. Melihat kebingungannya, aku kadang malah geli sendiri dan akhirnya menjulukinya ‘Pemburu Penginapan’. Tapi kami menikmatinya. ‘Mumpung ke Jogja’ mungkin pikirnya. Dan dia seringkali merasa, mungkin liburan kali ini adalah liburan terakhir kami bareng-bareng sebagai single. Dan ternyata terbukti padanya. Tidak lama kemudian aku mendapatkan kabar teman baikku ini menikah. Yups, meskipun sedang pandemi Covid 19 niat baik tidak boleh ditunda ya. Memang hanya caranya saja yang dibuat sedemikian rupa agar aman dan nyaman bagi semua pihak. Selamat teman baikku!

Kita percaya bahwa tidak ada yang kebetulan, semua pasti sudah ALLAH rancang. Setiap momen memang harus kita nikmati, karena waktu dan peristiwa tidak akan pernah bisa berulang sama. Insyaa ALLAH sampai ketemu lagi teman baikku. “Jogja selalu Ngangenin” katamu.


KARENA WAKTU TIDAK AKAN BERULANG SAMA PART #1 KENYANG BERSAMAMU





Memenuhi janji untuk menuliskan perjalan kami kala itu. Yup, perjalanku dan teman baikku semasa kuliah yang kala itu berlibur ke Jogja untuk kesekian kalinya. Bahkan sempat terbersit juga ingin tinggal di Jogja, “jogja ngangenin” katanya. Entah serius atau tidak. Kebetulan akupun memang sedang mengambil jatah cuti tahunanku.

Enam hari seperti tidak terasa kami sudah mondar mandir di wilayah Kota Jogja dan Kabupaten Sleman dengan motor kecilku. Tiga hotel kita inapi, dan rasanya lebih dari sepuluh tempat makan kita jelajahi bareng-bareng. Karena tidak selalu aku menemaninya.

Lokasi pertama untuk menikmati Jogja yang dipilihnya adalah salah satu lesehan di dekat Stasiun Tugu Jogja. “Ingin mencicipi kopi joss”, katanya. Meskipun aku sebagai orang Jogja pun belum pernah memesan minuman itu. Bahkan malam itu aku hanya mencicipi kopi joss pesanannya. Dan... memang enak begitu pun menurutnya. Sedikit keterangan untuk yang belum tahu, kopi joss adalah minuman kopi yang diberi bongkahan arang panas kedalamnya. Minuman ini bisa dipesan sesuai selera, misalnya dengan susu atau tanpa susu.

Saat itu  aku sempat menawarinya untuk menikmati wisata malam di titik nol kilometer, tapi itu sepertinya bukan seleranya. Dia bilang tidak suka keramaian dan lebih suka berwisata kuliner. Bahkan wisata-wisata alam pun tidak. Aku rasa selera wisata kami mungkin memang beda. Itu bukan hal yang prinsip, aku orangnya fleksibel kok. Ingat, ‘Prinsipku ya fleksibel itu’. Dan selama perjalanan pulang ke hotel tempatnya menginap, kami terus membuat jadwal rencana untuk besok. Dan sebagian besarnya adalah tentang makan, mengikutinya loh ya.

Keesokan harinya, setelah sarapan diluar dugaan ternyata kami harus disibukkan dengan pindah hotel. Rencana awalnya ingin coba semalam dulu aj di hotel itu diurungkannya, karena hari itu sudah menyusun rencana untuk jalan seharian. Sehingga booking hotel seharusnya diperpanjang. Namun ternyata harga melonjak cukup jauh dan sepertinya sudah penuh. Maka hotel kedua pun akhirnya kami buru, salah satu hotel di kawasan tidak jauh dari hotel pertama dan cukup dekat dari Plaza Ambarukmo. Belajar dari pengalaman  sebelumnya, hotel langsung dipesannya untuk 2 hari.

Singkat cerita, beberapa tempat kuliner yang akhirnya sempat kami datangi bareng adalah:

  • Angkringan Kopi Joss di Dekat Stasiun Tugu Jogja pada malam pertama kedatangannya di Jogja
  • Es pisang ijo di kawasan Mandala Krida, yang rencana awalnya adalah es pisang ijo di dekat Kotabaru namun tutup. Yang akhirnya disambanginya sendiri keesokan harinya
  • Kawasan Malioboro, kami makan di lantai satu Malioboro Mall. Semangkuk sroto dan segelas teh panas adalah pilihanku, seporsi batagor dan minuman jeruk peras adalah pilihannya. Dia pun membawa pulang seporsi gurita yang sudah dimasak ke hotel.
  • Pada hari ketiga, kami menyambangi empek-empek “Ny. Kamto” Plaza Ambarukmo. Dan malamnya sambil berburu hotel, kami makan di sebuah warung tenda pinggir jalan. Soto apa ya, aku lupa. Maklum, ketika tulisan ini aku buat sepertinya sudah hampir delapan bulan berselang sejak saat itu.
  • Di hari keempat, setelah pindah hotel kami berjalan-jalan ke Hartono Mall. Itupun setelah aku pulang dahulu dan kami memutuskan bertemudi Hartono mall. Lagi-lagi aku lupa, mencicipi kuliner apa ya kami di Hartono mall J Yang jelas kalau tidak salah, setelah itu kami mencicipi sate klathak Pak Jede. Sate ini sebenarnya berlokasi dekat dengan hotel sebelumnya, namun saat itu kami sudah mengagendakan hal lain disamping karena kami juga baru tahu jam bukanya. Sate klathak Pak Jede ini sepertinya merupakan cabang sate klathak Pak Jede di wilayah Kecamatan Pleret. Sate klathak ini merupakan menu makan malam kami. Sebelum akhirnya kami ke hotel, kami mampir Superindo.
  • Rujak Es Krim, salah satu kuliner di Kawasan Pakualaman
  • Pada hari selanjutnya, setelah silaturrahmi ke rumah besan kakaknya di daerah Sleman, kami meluncur ke Pakualaman untuk menikmati rujak es krim. Sesampainya disana, ternyata ramai sedang ada acara semacam kirab budaya masyarakat. Selanjutnya setelah melaksanakan sholat dzuhur di Masjid Pakualaman, sesuai jadwal yang telah kami susun kami melanjutkan ke Bale Raos. Restoran ini berada di area kraton di dekat Pasar Ngasem. Konon, restoran ini milik keluarga kerajaan yang menyajikan menu-menu khas kerajaan. Tapi kami lihat, sudah di’garnis’secara modern. Kalau tidak salah, banyak bule juga yang makan disini. Tidak ingat persis apa naman menu yang kami makan. Tapi seingatku, aku memesan menu ikan dengan nasi gurih sementara daging adalah pilihannya. Di tempat ini juga dilengkapi dengan musholla. Dan untuk masuk ke area ini pun, mesin kendaraan tidak boleh dinyalakan. Setelah sholat ashar di Bale Raos, kami melanjutkan perjalanan ke Jejamuran. Beberapa menu kami pesan. Dan sepertinya selera kami sama. Karena dari beberapa menu itu, lidah kami sama-sama cocok dengan sate jamurnya yang pedas. Eh, iya gak sih….. maaf, lupa-lupa ingat. Sementara malam harinya, kami berburu gudeg. Gudeg Yu Djum menjadi pilihan, karena selain merupakan gudeg yang cukup terkenal di Jogja, lokasinya pun tidak jauh dari hotel tempatnya menginap. Masyaa ALLAH, hari kelima itu merupakan hari terkenyang sepertinya selama enam hari aku menemaninya di Jogja. Meskipun di hari-hari lainnya juga kenyang. Sampai aku bilang 'menyerah', tapi dia tetap saja menyusun rencana kulinernya.
  • Salah satu titik di Bale Raos
  • Dan di hari terakhir, setelah paginya kita keliling di Sunmor dan kembali ke hotel untuk bersiap-siap, agak siang kuliner yang kita pilih adalah Ayam Goreng Bu Tini. Sekalian belikan pesanan abangnya. karena hari itu adalah hari terakhirnya liburan di Jogja kali ini. Eh, ternyata kuliner ini cocok juga dilidahnya. Sampai berencana untuk tidak akan meninggalkan kuliner ini jika berkunjung ke Jogja lagi. “Apa kabar iga bakar Bali?” tanyaku. Iga bakar Bali merupakan kuliner yang sebenarnya sudah masuk daftar kuliner yang akan didatanginya pada liburan kali ini, tapi belum kesampaian. Itu membuatnya berencana menjadikannya agenda utama sepertinya jika berkunjung ke Jogja lagi.