Hm, Jogja yang dingin. Tadi
malam, hampir sepanjang malam Jogja diguyur hujan seperti menumpahkan nyaris
semua uap air yang telah ditimbun dan disimpannya selama berbulan – bulan. Dan
malam ini, sepertinya langit Jogja cerah. Kemudian tanpa terencana ingatan
melayang pada Sekaten.
Sekaten adalah event yang
diadakan rutin setahun sekali di alun – alun utara Kota Jogja. Menurut para
sesepuh yang lebih dulu menghuni Jogja, Sekaten berasal dari kata ‘Shahadatain’
yang berarti dua kalimat shahadat. Kaum muslim pastilah akrab dengan istilah
dan bahkan kalimat nya. Event ini diadakan menjelang peringatan Maulid Nabi,
yaitu mengingat dan mensyukuri kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Dari sekian banyak tulisan, dapat
disimpulkan bahwa perayaan Sekaten merupakan cara syiar yang dipilih para wali
(Wali Songo) di kalangan masyarakat Yogyakarta. Seperti yang telah kita tahu,
para wali dahulu menggunakan budaya yang disisipi dengan ajaran Islam untuk memudahkan
penyebaran ajaran di kalangan masyarakat yang waktu itu mayoritas beragama
Hindu – Budha.
Dakwah Islam yang tercatat, yang berkaitan dengan
Perayaan Sekaten adalah dakwah yang dilakukan oleh Walisongo, terutama Sunan
Kalijaga, yang menyebarkan Islam melalui seni karawitan. Gamelan yang digunakan
oleh Sunan Kalijaga bernama Kanjeng Kyai Sekati. Konon gamelan ini diciptakan
oleh Sunan Giri, pada masa Kerajaan Demak. Gamelan inilah yang disebut-sebut
sebagai asal-usul kata Sekaten, meskipun ada pula yang menyebutkan bahwa
Sekaten berasal dari kata syahadatain, dua kalimat syahadat yang menjadi
strategi para wali dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Menurut
tuturan sejarah, di saat menggelar gamelan Kanjeng Kyai Sekati, Sunan Kalijaga
juga melakukan kotbah dan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kemudian, bagi
mereka yang bertekad memeluk agama Islam, beliau mewajibkan kredo kalimat
syahadat sebagai pernyataan taat kepada ajaran agama Islam.
Sebuah sumber menyebutkan, Sekaten pertama kali diadakan pada tahun 1477
Masehi atas inisiatif para wali. Sebagai kegiatan syiar pada waktu itu, diadakan
perayaan 7 hari menjelang tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW. Maka saat ini
perhelatan Sekaten telah berlangsung sebanyak 534 kali dalam kurun tahun yang
sama.
Perhelatan dimulai pada tanggal 6 Rabi’ul Awwal ditandai dengan dikeluarkannya
dua gamelan yaitu Gamelan Kanjeng Kyai Naga Wilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu.
Prosesi ini disebut Prosesi Miyos Gangsa. Ada sekitar 39 abdi dalem yang
memainkan 19 lagu (gending) yang berisi do’a – do’a.
Kedua gamelan tersebut akan dibunyikan di Kagungan Dalem Pagongan
Masjid Agung Yogyakarta selama 7 hari berturut – turut, kecuali kamis malam
sampai jum’at siang. Pada tanggal 11 malam atau malam tanggal 12 Rabi’ul Awwal
berdasarkan kalender tahun hijriyah, tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW, di
tempat yang sama dibacakan riwayat Nabi oleh Kiai Pengulu.
Menurut
catatan sejarah Sultan Agung (1613-1645) pernah membuat dua set gamelan, yaitu
Guntur Madu dan Guntur Sari. Secara bahasa, Guntur Madu memiliki arti yang
keluar darinya sesuatu hal yang manis-manis, yang baik. Sedangkan Guntur Sari
itu mengandung arti segala suatu yang punya inti, pokok. Akan tetapi, pada saat
kerajaan Mataram terbagi menjadi dua: Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan
Surakarta, melalui Perjanjian Giyanti 1755, kedua set gamelan tersebut ikut
dibagi seperti layaknya sebuah warisan. Kiai Kanjeng Guntur Madu menjadi milik
Kasultanan Ngayogyakarta, sedangkan Kiai Kanjeng Guntur Sari diboyong ke
Kasunanan Surakarta. Kemudian Kiai Kanjeng Guntur Madu dipasangkan
dengan Kanjeng Kiai Naga Wilaga yang dibuat oleh Tumenggung Ronggoprawidiredjo
atas perintah Sultan Hamengku Buwono (HB) I.

Dan sebagai acara puncak, pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal diadakan
Grebek yaitu pemberian sedekah oleh Pemberian sedekah Ngarsa Dalem Sampean
Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan berupa gunungan yang biasanya berisi hasil
bumi. Pada waktu perhelatan ini pertama kali diadakan, Kerajaan Mataram belum
terpisah. Dan pada saat Mataram terpecah menjadi Kasultanan
Ngayogyakarta dan
Kasunanan
Surakarta, tradisi ini
masih terus dilestarikan sebagai perhelatan akbar tahunan oleh kedua kasunanan
tersebut.

Pasar malam merupakan event
tambahan pada perhelatan sekaten ini. Pasar malam akan berlangsung selama 40
hari. Perkembangan perayaan sekaten Yogyakarta yang saat ini dikenalkan dengan
nama Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS), mungkin berkembang lebih pesat dan
meriah sebagai pesta rakyat dan budaya serta Religi. Hal ini juga sekaligus
mennggambarkan bahwa Kesultanan Ngayogyakarta merupakan perpaduan dari tiga
kekuatan nilai tersebut. Dan PMPS benar – benar menjadi pesta rakyat, karena
semua masyarakat dari berbagai golongan, suku, agama maupun kelas ekonomi dapat
berbaur tumpah ruah dalam perhelatan ini.
Sumber: diolah dari beberapa tulisan di www.newyorkyakarta.net/2012/08